Tak Ada Mudik Lebaran 2024: Cerita Mudik Lebaran
“Permisi, Mas. Ini Solo Ekspress kan ya?” tanyaku pada
seorang lelaki yang duduk di seberang bangkuku.
“Iya, benar, Mbak.”
“Terima kasih,” jawabku sambil mengangguk-angguk.
Meski sudah berkali-kali naik kereta, kadang aku was-was
juga jika menaiki kereta baru. Sebenarnya aku lupa ini kereta apa, entah
Prameks, Joglokerto, Gajahwong, Fajar Utama, atau Solo Ekspress. Yang kuingat
justru Prameks. Tapi kenapa tempat duduknya diatur? Berarti bukan. Kalau tidak
Joglokerto ya Solo Ekspres karena bangkunya berhadapan. Pokoknya jadwal
keberangkatannya pagi.
Kadang-kadang aku membayakangkan jika aku bertemu jodohku di
kereta. Tapi sampai sekarang hal itu tidak pernah terjadi.
***
Kulihat tiketku, keretaku berada di jalur 2. Saat itu aku
pulang sore hari. Biasanya aku pulang menggunakan Prameks. Kali ini aku
menggunakan kereta yang lebih mahal (sambil mendongakkan kepala). Solo Ekspress.
Tiga puluh ribu rupiah. Kereta yang belum lama launching.
Bukan bermaksud gengsi, hedon, dan mau sok kaya. Aku mencari
jadwal kereta sore yang lebih awal. Kereta Prameks akan mengantarku sampai
Kutoarjo saat hampir isya. Sudah gelap, angkot susah. Kalau dijemput, aku
kasian dengan bapak yang harus menjemput malam-malam. Karena saat itu
rencananya aku akan dijemput Bapak di stasiun Kutoarjo, aku mencari kereta yang
bisa mengantarku lebih awal dari Prameks.
Tiket Solo Ekspress sudah di tangan. Aku sudah menanti di bangku
dekat peron 2. Ah, sebentar lagi keretaku datang, dan aku akan segera meluncur
ke rumah. Benar, voice over
mengumumkan kedatangan kereta. Tentu saja aku bersiap-siap.
Lima menit berlalu, kereta Solo Ekspress tak kunjung
terlihat.
“Ah, mungkin delay,”
pikirku. Oke, aku akan sabar menunggu.
Hingga lima belas menit, keretaku tak kunjung datang. Aku mulai
bertanya-tanya dalam hati. “Ini keretanya mana, sih?”
Tiba-tiba terdengar voice
over yang mengumumkan bahwa kereta Solo Ekspress akan segera berangkat
meninggalkan stasiun Yogyakarta. Aku terkesiap. Loh, eh, apa? Di mana kertanya? Kok tidak ada? Eh, gimana ini?
Saat itu baru kusadari, aku duduk di dekat jalur 4. Bukan jalur
2. Ternyata jalur dua berada di sisi lain. Segera kuberlari ke arah jalur 2
mengejar Solo Ekspress yang pintunya mulai menutup perlahan-lahan,
Tinggal beberapa langkah lagi aku bisa masuk ke dalam kereta
sebelum pintu tertutup. Namun, pintu telah tertutup saat aku hampir sampai di
salah satu pintu. Kereta mulai bergerak perlahan. Aku tergagap-gagap memegangi
jendela kereta. Aku ingin berteriak meminta kepada petugas yang saat itu berada
di dekatku untuk menghentikan keretanya dan membiarkanku masuk. Namun,
tenggorokanku tercekat. Kereta pun berlalu tanpa bisa kuhentikan. Aku tertinggal
kereta.
Oh, keretaku…
Aku tetunduk. Lesu, lemas, tak berdaya, memegang tiket yang
akhirnya sia-sia. Aku ingin menangis tapi seingatku aku tidak menangis. Bagaimana
aku akan pulang? Yah, gagal sudah rencanaku pulang lebih awal.
Mau tidak mau aku harus naik Prameks agar aku bisa pulang
meski harus sampai larut. Tapi bagaiman caraku mendapatkan tiket Prameks? Ya
kalau masih ada. Kalau misal habis, aku tidak akan bisa masuk lagi karena tidak
bisa masuk menggunakan tiket Solo Ekspress yang keretanya saja sudah berangkat.
Aku lupa, apakah akhirnya aku tidak membeli atau aku cek di
aplikasi KAI Acces dan ternyata habis. Tapi yang pasti, saat itu aku pulang
naik Prameks dengan tiket Solo Ekspress. Tiket Prameks gagal kudapatkan tapi
tiket Solo Ekspress masih ada di tanganku. Aku tetap memaksa untuk pulang. Entah
dapat keberanian dari mana aku melakukan hal tersebut. Aku tahu ini bukan hal
yang patut ditiru. Kalaupun aku melanggar peraturan, aku tidak merugikan PT
KAI. Aku membayar tiket yang lebih mahal dari seharusnya. Aku membayar kereta
tiga puluh ribu untuk naik kereta delapan ribu.
Aku menyambut kedatangan Prameks dengan tidak semangat. Kulangkahkan
kaki ke dalam Prameks. Tak ada tempat duduk yang tersisa. Ah, andai aku naik Solo Ekspress.
Peluit berbunyi, kereta perlahan membawaku meninggalkan stasiun
Yogyakarta. Aku teringat bahwa temanku juga akan pulang hari ini dengan Prameks
sore. Ia berangkat dari stasiun Wates. Itu artinya aku dan temanku akan berada
dalam satu Prameks yang sama. Semoga saja berbeda gerbong. Aku tidak ingin
menceritakan kronologiku kenapa berada di Prameks padahal aku sudah bilang
padanya kalau aku akan pulang dengan Solo Ekspress.
Entahlah, mungkin ini takdir. Saat sampai di stasiun Wates,
gerbong yang kutumpangi berhenti tepat di depan temanku menunggu. Alamak! Ternyata
kita satu gerbong. Ia pun memasuki Prameks dan …“Lho, Pal, kok kamu di sini, wahahaha…”
tanyanya sembari tertawa. Temanku satu itu memang hobi tertawa.
Akhirnya aku menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ia pun
tambah tertawa. Ah, kalau dipikir-pikir aku memang ceroboh. Aku pun jadi
menertawakan diri sendiri.
***
Begitulah aku mengenang momen-momen mudik beberapa tahun
silam saat masih menjadi anak rantau (Ceileh, anak rantau. Merantaunya juga cuma
ke kota sebelah). Bagaimana dengan mudik lebaran 2024?
Tak ada mudik lebaran 2024. Tahun ini aku tidak ke
mana-mana. Kalaupun ada mudik, itu adalah mudik saudara-saudara jauh yang
kadang pulang ke sini. Biasanya dari keluarga Bibi adik Bapak. Ya, semenjak
simbah berpulang, momen mudik dan berkumpul dengan saudara jauh menjadi hal
yang langka.
Namun, mudik ataupun tidak, semoga kita semua tetap dalam
keadaan baik. Yang penting, kita tidak melupakan satu sama lain. Saudara yang
baik adalah teman yang memiliki ikatan darah, sedangkan teman yang baik adalah
saudara tanpa ikatan darah.
Selamat mudik, hati-hati di jalan. Semoga sampai tujuan
dengan selamat. Selamat bertemu dengan orang-orang terkasih.
***
Tulisan ini diikutkan
BPN Ramadan Challenge dari Blogger Perempuan Network (BPN). Info lebih lengkap
tentang challenge ini bisa dilihat di
akun media sosial atau situs web Blogger Perempuan.
Posting Komentar untuk "Tak Ada Mudik Lebaran 2024: Cerita Mudik Lebaran"