Sebuah Refleksi dari Takjil Gratis
Suatu sore sepulang dari ngabuburit, aku dan adikku berhenti di perempatan. Lampu merah sedang menyala. Sebenarnya lampunya masih kuning. Ada dua makna lampu kuning. Bagi sebagian pengendara, kuning adalah buru-buru, sebuah peringatan untuk segera bablas sebelum lampu merah menyala. Bagi teori peraturan lalu lintas, kuning adalah hati-hati, sebentar lagi lampu merah, makanya tidak usah ngebut-ngebut biar tidak kaget saat tiba-tiba lampu merah menyala. Aku yakin makna yang kedua ini sudah diajarkan kepada kita sejak di bangku sekolah dasar. Artinya, semua orang paham dengan makna tersebut. Akan tetapi, sepertinya ‘sebuah teori tidak semuanya untuk diikuti’ diterapkan juga untuk rambu-rambu lalu lintas. Oleh karena itu sebagian dari mereka memilih untuk mengikuti makna yang pertama, yang lebih diterima jiwa grasa-grusu mereka.
Hal itu ternyata juga terjadi pada diriku.
“Eh, wis bablas wae!
Eh, sudah bablas saja!” seruku sambil menepuk punggung adikku saat ia mulai
memelankan laju motornya dan akhirnya berhenti.
Ternyata adikku masih memegang prinsip yang diajarkan sejak
SD. Yah, kurasa aku patut bangga pada adikku.
Aku lupa respon adikku. Namun, saat itu aku melihat
sekelompok komunitas dari entah diperempatan tersebut. Mereka berseragam ungu
dan beberapa dari mreka membawa kardus.
“Ah, paling mereka mau minta donasi. Donasi ke mana sih
memangnya, ke korban banjir, untuk pembangunan masjid, atau ke Palestina? Gak ada
tulisannya,” batinku dengan agak skeptis
dan sinis.
Huh, ternyata di bulan Ramadan ini hati dan pikiranku
seperti tidak ikut puasa.
Sembari menenteng kardus, orang-orang itu pun mulai mendekat
ke arah para pengendara yang sedang menanti lampu hijau. Aku tak tahu apakah
pengendara lain memberikan sumbangan karena aku tak memperhatikan mereka. Kendaraan
kami pun juga tak luput dari hampiran mereka. Salah satu mulai mendekat ke arah
kami dengan kardusnya.
“Nah, kan, benar. Mau minta donasi nih,” batinku kembali. Aku
teringat pada orang-orang yang meminta sumbangan di lampu merah tetapi tak
jelas untuk apa sumbangan tersebut. Apalagi banyak berita beredar bahwa ada
beberapa orang yang menggunakan subangan sebagai modus, aslinya hanya menipu.
Tiba-tiba sebuah kresek kecil terulur kepadaku. Eh, apa nih? Aku sedikit terkejut. Ya Allah,
ternyata mereka membagikan takjil gratis! Bukan meminta sumbangan. Tidak hanya
aku, adikku juga dapat. Setelah kulihat stiker di kreseknya, ternyata komunitas
tersebut adalah Komunitas Guru PAI Purworejo. Wuah, yakin, isin sak pole, lur! Malu banget, cuy! Untung saja aku hanya membatin, bukan
mengucapkannya. Jadi, tidak ada orang yang melihatku menanggung malu. Kalau pun
ada yang menertawakanku, mungkin itu malaikat. Kalau setan kan katanya
dikerangkeng.
Astagfirullah, betapa tinggi tingkat kesuuzanan hamba-Mu
ini. Meskipun tengsin, aku pulang dengan membawa takjil gratis. Alhamdulillah,
berkah Ramadan.
Ini bukan kali pertama aku mendapat takjil gratis. Ramadan
tahun lalu, aku mendapat takjil gratis bahkan dari anak-anak paud. Ya, tentu
saja diinisiasi oleh orang tua mereka. Saat masih di Jogja dan jadi anak kos,
entah sudah berapa kali aku mendapat takjil gratis.
Takjil gratis yang kudapatkan ditambah momen di perempatan
tersebut membuatku mengingat sesuatu. Apa yang sudah kulakukan selama Ramadan
ini? Ah, ya, aku bahkan tidak melakukan apa-apa. Sepertinya tak ada kegiatan
sosial yang kulakukan selama Ramadan ini. Sudah tak melakukan apapun, malah
berburuk sangka pada sebuah komunitas berbagi takjil. Astaga…
Semoga kejadian ini bisa jadi pelajaran buatku. Semoga aku
bisa mengisi Ramadan dengan lebih baik di masa mendatang. Ah, semoga saja masih
diberi kesempatan untuk bertemu Ramadan lagi.
Kami pun sampai rumah dengan selamat. Aku kembali melihat
takjil gratis yang kutenteng dan suatu hal terpikir olehku.
“Jangan-jangan kamu tadi sengaja berhenti di lampu merah
biar dapat takjil gratis, ya?!” seruku pada adikku. Hmmm, baru juga berdoa yang
baik-baik.
***
Tulisan ini diikutkan
dalam BPN Ramadan Challenge dari Blogger Perempuan Network. Info lebih lengkap
tentang challenge ini bisa dilihat di akun media sosial atau situs web BloggerPerempuan.
Posting Komentar untuk "Sebuah Refleksi dari Takjil Gratis"